Cerita Pendek Dari Penulis Yang Tidak Bisa Menulis
Untuk sekarang ini aku pun tidak tahu harus menuliskan kata seperti apa lagi yang bisa merangkai susunan-susunan kata membentuk sebuah kalimat. Sebuah perasaan yang saat ini juga sulit untuk dijelaskan secara lisan, bahkan akan semakin sulit untuk dituliskan. Maka dari keresahan itulah aku mencoba untuk menuliskan apa yang sebenarnya tidak bisa dituliskan.
Setelah sekian lama tidak bertemu yang mungkin hampir setahun ini, meskipun pada faktanya belum genap satu tahun. Rasanya ingin sekali untuk bertatap dan berbincang denganmu. Tapi entah perihal apa yang menyebabkan sulit melakukan pertemuan. Dikata sibuk juga tidak sesibuk itu, dengan waktu yang berjalan seakan berjalan sangat cepat menjadikan rasa ini semakin tidak bisa dituliskan.
Satu kata persuasif pernah terucapkan, namun sebuah balasan juga tak jelas membawah kearah menolak atau menunda, namun dengan itu kucoba untuk berfikir bahwa itu adalah menunda. Sekian waktu berjalan, satu kata persuasif kembali tertulis dalam layar itu, namun sekali lagi itu juga tidak bisa menunjukkan arah yang jelas.
Mencoba untuk masih berfikir bahwa itu hanya kejadian tertunda, dengan menunggu putaran waktu yang juga berputar yang menunjukkan bahwa satu pekan hanya terjadi satu hari, yang mungkin bisa dikatakan waktu yang berjalan cepat namun tidak serasa cepat.
Mencoba lagi untuk menuliskan satu kata persuasif, namun dengan gaya penuturan yang berbeda, dan sekali bahkan setiga kali juga tidak bisa menunjukkan arah yang jelas, dalam arti lain juga tidak ada kalimat tolakan, juga tidak ada kalimat persetujuan. Kucoba untuk berbincang basa basi setelah kejadian kata persuasif itu. Namun kali ini tautan yang diberikan sedikit menurunkan intensitasnya. Ada apa denganku ? ataukah ada apa denganmu ?.
Berjalan kedepan dengan berfikir positif, tidak lupa untuk bernafas dan mencoba untuk tetap bahagia dalam tautan rasa syukur, tiba lah ada satu arah keselatan yang seaakan memberi lampu hijau. Sehingga dengan dasar anggapan bahwa kebarat tidak ada lagi harapan, kucobalah untuk berjalan keselatan. Berbincang basa-basi, bertanya pada pertanyaan yang sebenarnya sudah tau jawabannya. Namun, dengan berjalannya waktu yang juga ikut berputar sangat cepat tidak menunjukkan arah yang stabil. Dari situ entah kenapa selalu kepikiran dengan arah yang dari barat.
Tidak ada angin yang memang waktu itu aku sendiri didalam ruangan yang tak ber-AC, tiba-tiba ada notifikasi panggilan dari arah barat. Dengan sentuhan penarasan kucoba perlahan untuk membalas panggilan itu, pikiran dan angan-angan sudah bercampur menjadi satu, tiang harapan dari arah barat seaakan mulai bisa berdiri lagi.
Kalimat manis yang datang adalah sebuah permintaan yang aku sendiri sebenarnya tidak bisa memenuhi permintaan itu. Tapi, timbul rasa dari tiang harapan itu, maka jawablah dangan kata "Iya, Bisa". Saling berbincang lagi dengan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Namun faktanya itu juga penting guna untuk memberi pondasi tiang harapan itu.
Tapi pada dasarnya, setalah sekian waktu mencoba untuk mencari arah lain, bingunglah aku sendiri untuk mencari topik basa basi tersebut. Alasan dengan pekerjaan mungkin menjadi alasan yang kuat untuk menghentikan perbincangan itu. Dalam pemikiranku aku beranggapan itulah yang terbaik. Namun faktanya bukan jalan yang baik dari yang terbaik.
Kulontarkan permintaan dari arah barat tersebut kearah sampingku yang lebih dekat, yang juga senantiasa membantuku dalam keaadan apapun. Dia bersedia namun dengan balasan harga yang sudah ditetapkan.
Setelah permintaan terpenuhi, yang sebenarnya dalam lubuk hati terdalam ingin memberikan hasil dari permintaan tolong yang datang dari arah barat tersebut dengan sukarela, dengan rasa peduli. Faktanya dari dasar pemikiranku yang paling dangkal timbulah bahwa aku ini bukan siapa-siapa jika lihat dari sudut pandang arah tersebut. Maka dari situ kubuat harga tersebut seakan itu adalah yang terbaik.
Awalnya perbincangan masih berjalan semestinya. Tapi dengan kondisi dan situasi yang datang dengan tiba-tiba membuat seseorang dari arah barat tersebut tidak bisa melanjutkan perbincangan dengannya. Dan pada saat itu kata yang kutliskan hanya sebuah Do'a yang baik.
Sepekan berlalu tidak ada lagi kabar dari arah barat tersebut, bahkan dia seaakn hilang dari dunia sosial media digital teknologi. Entah rasa apa yanga ada pada diriku timbul rasa khawatir terhadapnya. Kucoba untuk menautkan panggilan nama padanya, dan rasa lega itu akhirnya datang setelah dia memberi tautan panggilan dariku.
Dari situ, aku mulai berbincang dengan kata yang berbeda, ingin memberi sebuah inspirasi kepadanya. Karena dengan alasan yang dibuatnya mengapa selama sepekan hilang dari dunia terkadang membuat aku sendiri merasa bingung. Hanya kata lelah dengan kehidupan yang dituliskan olehnya.
Dari perbincangan itu saling bertanya, bercanda, tertawa dan entah kenapa aku pribadi juga merasa sangat senang jika perbincang dengannya. Setelah perputaran waktu menggiring pada larut malam, berpamitan untuk beristirahat. Maka akan kucoba untuk menautkan lagi perbincangan pada keesokan harinya.
Disinilah mungkin awal mula dari rasa yang sulit untuk dituliskan ini. Yang pada faktanya pada keesokan harinya ingin menautkan lagi sebuah percakapan, pemikiranku yang datang adalah aku mungkin lebih baik tidak dulu menautkannya. Mungkin dia memang suasananya sedang tidak baik.
Ternyata yang selama ini angan dan pikiran ku saling berbenturan membentuk sebuah tiang harapan.Mungkin ini juga menjadi kesalahanku. Setelah hampir sepekan lamanya, barulah kucoba untuk menautkan panggilan tehadapnya, dari arah barat tersebut. Namun, hari itu tidak ada tautan darinya. Mencoba berfikir positif, sampai lah pada hari ketiga, masih belum ada tautan darinya.
Ingin sekali lagi menautkan panggilan itu, tapi pribadiku seakan menolak dengan rasa takut, entah rasa itu datang dari mana.
Tapi saat ini aku sendiri hanya ingin mendapat tautan dari pertanyaan yang belum sempat tertulis yaitu "Apa Kabar ?" Apakah baik-baik saja ?.
Ada apakah denganmu ? Apa yang terjadi denganmu ?
Yang saat ini, dan harapan saat ini, mungkin akan menjadi kalimat persuasif ku untuk yang sekian kalinya. Aku hanya ingin bertemu, bertatap, berbincang dan mengatakan bahwa sebenarnya "Aku sangat mencintaimu sangat ingin berbagi rasa peduli denganmu," Memang mungkin selama ini aku yang sudah sangat bodoh tidak bisa menemukan rasa cintaku yang sebenarnya, Namun ketahuilah hai kau yang dari arah Barat, bahwa memang aku suka padamu.
Aku yang selama ini takut dengan diriku sendiri, takut aku tidak mampu pada diriku sendiri, membuat diriku semakin memberi jarak denganmu. Tapi jarak itulah yang sebenarnya membuatku gelisah sampai saat ini. Yang juga sangat sulit jika ini benar-benar menjadi kalimat yang Tertulis.
Sekali lagi hanya itu, dan hanya itu.